Minggu, 11 Desember 2011

Nasakom - Komunisme Tidak Ada Kaitannya

Di alinea pertama tulisan "Soal G30S, Korban PKI, dan PKI Sebagai Korban", Hartono Mardjono mengatakan bahwa Presiden Sukarno telah melakukan modifikasi ajaran komunisme menjadi Nasakom. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Alasannya, Presiden Sukarno tidak pernah menyatakan bahwa ide Nasakom adalah modifikasi ajaran komunisme, melainkan hanyalah perasan [inti] dari Pancasila. Sedangkan ajaran Marhaenisme dikatakannya sebagai ajaran sosialisme yang diterapkan pada kondisi Indonesia

Apabila ditinjau dari isi ajaran komunisme dan isi ide Nasakom itu sendiri satu demi satu, jelas tak ada persamaan sama sekali. Komunisme berinti pokok perjuangan kelas [proletar] untuk mencapai “kediktaturan proletariat” komplit dengan semua teori filosofi sampai ekonomi serta gerakan dan organisasinya [baca literatur filosofi marxis, Das Kapital, Manifesto komunis, tulisan-tulisan Lenin dan sebagainya]. Sedangkan Nasakom merupakan ide yang diciptakan oleh Sukarno dalam upayanya mempersatukan kekuatan-kekuatan politik/sosial terbesar di Indonesia dalam perjuangan untuk mencapai “masyarakat yang adil dan makmur” dengan semangat “gotong royong” (bukan konfrontatif dan bukan untuk menciptakan kediktaturan)

Lepas dari penilaian apakah visi tersebut baik atau jelek, realistis atau idealistis, ide Sukarno tersebut tak kaitannya sama sekali dengan komunisme, apalagi sebagai bentuk modifikasinya seperti yang ditulis H.Mardjono.
Apa yang disebut oleh Hartono Mardjono sebagai “Suatu dimensi yang pahit, suatu demensi yang akhirnya mendaratkan bangsa Indonesia pada suatu malapetaka nasional, G30S/PKI dengan segala akibatnya”, menurut hemat saya, bukan ekses dari ide Nasakom. Itu melainkan ekses dari faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, psikologis dari situasi dalam negeri dan international waktu itu. Untuk mewujudkan visinya, Presiden Sukarno telah menempuh risiko “mengebiri” demokrasi di Indonesia [pembubaran DPR akhir tahun 1950-an, pemaksaan doktrin Manipol Usdek, pemberangusan siapa saja yang dianggap “musuh revolusi”, retorika pengganyangan “Manipol gadungan”, “Kabir”, Neokolonialisme, Malaysia dan sebagainya. Itu ditambah dengan persetujuan beliau [sengaja atau tidak] untuk mengkultus individukan Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi [bandingkan dengan titel “Nakhoda Besar Revolusi Cina” untuk Mao TseDong di RRC], tak menolak atas pengangkatannya sebagai Presiden RI seumur hidup dan lain-lain

Sementara itu, di dunia internasional, pertikaian dalam kubu komunis sendiri [Soviet-RRC-Yugo] maupun antara kubu kapitalis dan kubu sosialis [agresi USA di Vietnam] semakin runcing. Ini semua, di satu pihak, sangat memacu ketakutan bagian masyarakat yang merasa dimasukkan ke grup “reaksioner” maupun grup “revolusioner gadungan”. Serta, di pihak lain memacu radikalisasi mereka yang merasa sebagai kekuatan “revolusioner”, terutama PKI beserta ormas-ormasnya.

Kemudian, dalam tulisan di alinea-alinea selanjutnya, Hartono Mardjono telah memberikan konklusi serta penilaian mengenai PKI dari teori maupun anggaran dasarnya, yaitu “PKI Indonesia …menolak pluralitas demokrasi”. Ini bisa dimengerti. Karena memang, anggaran dasar organisasi berisi “perjuangan kelas untuk mendirikan kediktatoran proletariat” susah untuk menyatakan bahwa organisasi semacam ini ingin memperjuangkan demokrasi. Tetapi apa yang telah terjadi 35 tahun lalu, yaitu peristiwa G-30-S, yang dipakai argumen oleh penulis sebagai bukti bahwa “PKI tak segan-segan menyingkirkan kekuatan lain”, seperti apa yang kita ketahui tidak merupakan hal yang gamblang dan jelas, yang membuktikan bahwa PKI adalah dalang dan sekaligus pelaku dari G-30-S [termasuk pembunuhan enam Jenderal ABRI]

Menurut hemat saya, hal ini perlu digamblangkan segamblang-gamblangnya. Karena ini berkaitan kuat dengan segala ekses–ekses dan pelanggaran HAM [oleh Orba] terhadap ratusan ribu orang yang dianggap sebagai PKI maupun antek-anteknya. Sebab, menurut versi Orba [Jendral Soeharto dan konco-konconya] PKI-lah yang mendalangi dan melakukan G-30-S, mengkhianati Revolusi 45 dan Pancasila serta menggulingkan Sukarno sebagai Presiden RI waktu itu. Sebaliknya, menurut pengamat-pengamat politik sebelum dan pasca G-30-S yang independen [Benedict Anderson, D.Scott , Prof.Wertheim, dan lain-lain] banyak menemukan indikasi bahwa PKI telah menjadi “korban” permainan perebutan kekuasaan tingkat tinggi, yang menyangkut CIA maupun Jendral Soeharto. 

Alangkah baiknya kalau Hartono Mardjono, sebagai politikus yang berbobot di DPR RI , memacu inisiatif untuk diadakannya penyelidikan baru yang mendalam, termasuk menghimbau para pelaku aktif Orba sekitar G-30-S yang masih hidup, untuk memberikan kesaksian dan recalling [di bawah sumpah] apa yang betul-betul terjadi waktu itu. Ini akan banyak membantu menghilangkan apa yang disebut “trauma” masyarakat, dan akhirnya bisa membawa masyarakat maju kemasa depan tanpa trauma maupun frustrasi .
Selanjutnya, pada alinea keempat tulisan itu, Hartono Mardjono mengatakan: “Karena pengalaman pahit itulah masyarakat mengalami trauma, suatu trauma yang berkepanjangan. Akibat ulah PKI saat itu, ribuan bahkan mungkin jutaan rakyat menjadi korban pembunuhan, penindasan, hingga pembantaian. Ini tindakan biadab yang tak akan terhapus dari ingatan sejarah. Ketika itu, ribuan masyarakat yang tak kunjung mengerti akan keadaan yang terjadi juga tak luput dari kekejaman antek-antek [kaki tangan] PKI itu”. 

Kalimat itu ditulis sedemikan rupa sehingga pembaca bisa menarik kesimpulan bahwa ribuan, bahkan mungkin jutaan, korban yang telah dibantai PKI. Padahal kenyataannya adalah sebaliknya, ribuan -- mungkin jutaan rakyat -- yang dianggap PKI-lah yang telah dibantai oleh sesama bangsanya yang dideking dan dipanas-panasi oleh ABRI [RPKAD]. 

Kemungkinan besar penulis sengaja menulis alinea keempat itu sedemikian rupa sehingga logis dan factologisnya terbalik: sang korban dijadikan algojo, agar selanjutnya bisa menulis alinea kelima: “Kini, setelah 35 tahun peristiwa itu berlalu, mungkinkah dilakukan suatu rekonsiliasi, melupakan suatu trauma politik yang pernah dialami? No way, tidak bisa. dst.dst…….”.
“Trauma masyarakat” yang sampai saat ini masih ada, menurut saya, adalah akibat tak jelasnya duduk perkara sekitar G-30-S. Juga karena persoalan ini tidak diselesaikan secara tuntas, sehingga terjadi kebimbangan di masyarakat, apakah “pembantaian” 35 tahun yang lalu merupakan “hukuman” yang telah ditimpakan kepada bagian masyarakat [yang oleh Orba dicap sebagai biang keladi percobaan kudeta G-30-S] itu beralasan kebenaran. Atau, para algojo telah menjatuhkan “hukuman mati” terhadap ratusan ribu orang yang tak bersalah sebagai hasil “permainan dan fitnah” tokoh-tokoh Orba ?
Sedangkan di pihak para korban, trauma-ketakutan akibat segala kekerasan dan pembantaian 35 tahun yang lalu lenyap sejenak setelah Soeharto lengser. Tapi mungkin sekarang timbul lagi akibat polarisasi dan perkembangan opini massa [yang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan para elit politik di Indonesia sekarang ini]. Apalagi setelah DPR menolak usul Presiden Gus Dur mencabut TAP MPRS 1966 tentang pelarangan marxisme, komunisme dan organisasi PKI di Indonesia. 

Pencabutan TAP MPRS 1966 diatas, menurut hemat saya, harus dibarengi dengan penambahan UUD RI dengan klausul yang, kurang lebih, berisi: Pelarangan untuk menyebarluaskan serta mempraktekkan semua ajaran/ideologi yang pada hakekatnya akan menentang demokrasi dan penegakan HAM. 

Saya pribadi mengharapkan, agar semua kekuatan politik maupun lapisan masyarakat Indonesia sekarang ini memperjuangkan demokrasi yang berlaku buat semua pihak, tanpa memandang kedudukan sosial ekonomi, agama, ideologi maupun sukubangsanya. Rekonsiliasi di masyarakat Indonesia merupakan salah satu syarat agar proses demokratisasi dan reformasi kehidupan Sospolek bisa dimulai. 

Saya menghimbau kepada para tokoh elit politik supaya menjauhkan diri dari retorika yang bisa lebih memperbesar rasa tidak percaya serta kebencian di antara kekuatan/kelompok politik dan sosial. Jangan sampai situasi yang sudah sangat meruncing ini bisa lebih meruncing lagi. Tanggungjawab para elit politik sangat besar.


Sumber : http://syarikat.org/content/nasakom-komunisme-tidak-ada-kaitannya

1 komentar:

  1. Dosa Gestok dan Revolusi Sosial tidak akan terpadam begitu sahaja. Celako ko..

    BalasHapus